KRISIS
GLOBAL
PENDIDIKAN
JASMANI
Baru sebagian warga Jawa Tengah yang menyadari
olah raga sebagai sebuah kebutuhan. Kesadaran ini belum merata di semua lapisan
masyarakat. Penyebabnya bukan ketidaktahuan akan manfaat olah raga namun lebih
karena kebiasaan dan gaya hidup serta perbedaan cara pandang tentang olah raga.
Pergeseran orientasi terhadap jenis dan nilai olah raga terjadi akibat
perubahan dalam gaya hidup.
Pertama, gaya
hidup yang berorientasi mengejar kesenangan dan kenyamanan fisik berpengaruh
nyata terhadap perubahan kultur gerak. Banyak
karyawan atau pekerja kantoran menghindari naik turun tangga. Mereka lebih suka
menggunakan lift. Pada masa usia dini, "kenyamanan" pun secara tidak
sadar ditanamkan. Alih-alih harus berjalan kaki, anak-anak berangkat ke sekolah
dengan menggunakan kendaraan antar jemput.
Kedua , pergeseran gaya hidup pun memengaruhi masyarakat dalam
memandang olah raga. Berolah raga kini tidak selalu dikaitkan dengan kompetisi
dan prestasi, tetapi juga karena tujuan lain, terutama sebagai gaya hidup.
Itulah sebabnya, klub-klub senam kebugaran, pengobatan, dan kemolekan tubuh
marak di mana-mana dan lebih populer dibandingkan senam ritmik dan cabang
prestatif lainnya.
Ketga , pilihan jenis dan tujuan olah raga pun bergeser.
Orientasi olah raga yang langsung atau tidak langsung bersifat ekonomi tumbuh
semakin tajam. Orientasi ekonomi langsung, terlihat pada "perkawinan"
antara olah raga dengan ekonomi. Olah raga pun kini
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dalam dua dekade
terakhir, ekonomi olah raga tumbuh dengan eskalasi makin besar. Kontribusi olah
raga bagi pertumbuhan ekonomi tampak dalam pengembangan industri olah raga.
Di negara
maju olah raga sudah terindustrialisasi secara masif. Perubahan struktur ini
juga diikuti dengan penanaman nilai-nilai profesionalisme secara ketat. Semakin
besar nilai kontrak, misalnya, semakin berat beban profesionalisme sang atlet. Ternyata,
industrialisasi olah raga pun mengalami globalisasi. Seperti juga di bidang lain
di luar olah raga, globalisasi industri olah raga pun membuat bangsa kita
tergagap. Kita tidak siap bersaing dan hanya menerima luberan pengaruh kultur
olah raga pada skala global.
Nilai
profesionalisme pun mulai ditanamkan di kalangan atlet nasional, meski tidak
utuh seperti yang berlaku pada masyarakat yang industri olah raganya sudah
maju. Namun gejala umum berlaku dalam dunia olah raga kita adalah bahwa
ternyata perubahan stuktur (seperti aturan transfer) tidak selalu diikuti
kultur profesional. Itulah sebabnya, tawuran kerap terjadi pada ajang yang mengusung
bendera profesionalisme.
Pengaruh
olah raga terhadap ekonomi juga bisa bersifat tidak langsung. Olah raga telah
mengurangi beban pengeluaran masyarakat dalam aspek kesehatan. Derajat
kebugaran jasmani dan kesehatan yang baik akan menurunkan biaya perawatan
kesehatan, dan malah meningkatkan produktivitas kerja. Dalam konteks pembangunan
Jawa Tengah, pembinaan olah raga diharapkan memberikan daya ungkit (leverage)
bagi pencapaian target pembangunan masyarakat. Meski tidak langsung, daya
ungkit olah raga bagi pencapaian Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Tengah 2010 diyakini akan
signifikan.
Pencapaian
visi dan misi pemerintah daerah membutuhkan dukungan semua pihak. Pada sisi
ini, derajat kesehatan aparatur dan masyarakat yang baik secara tidak langsung
akan berdampak terhadap peningkatan kinerja dan kualitas penyelesaian tugas.
Bagaimanapun
peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Jawa Tengah,
pengembangan struktur perekonomian regional yang tangguh, dan pemantapan
kinerja pemerintah daerah membutuhkan dukungan aparatur yang sehat. Demikian
pula dengan peningkatan implementasi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan
kualitas kehidupan sosial yang berlandaskan agama dan budaya daerah membutuhkan
dukungan masyarakat yang sehat secara fisik dan mental.
Pemberdayaan masyarakat
Olah raga
telah lama menjadi instrumen pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Peran ini
bukan hanya diperlihatkan dalam ajang Pekan Olah Raga Nasional (PON) I yang
terkesan heroik, tetapi juga diperlihatkan dalam berbagai even olah raga yang
digelar sebelumnya. Kini, lingkungan strategis olah raga telah berubah.
Tantangan yang dihadapi bangsa-bangsa bukan melepaskan diri dari belenggu
kolonialisme, tetapi memacu persaingan dan mengejar kesetaraan dalam hubungan
antarbangsa. Dalam lingkup global, terjadi peningkatan kesadaran akan saling
ketergantungan antarbangsa melalui difusi kultur olah raga. Dalam konteks ini,
permasalahan sistem keolahragaan nasional tidak terlepas dari tekanan politik,
ekonomi, dan budaya global.
Sementara
dalam skala nasional, perubahan paradigma pembangunan nasional ke arah
desentralisasi diikuti pula perubahan dalam kebijakan pembinaan olah raga yang
searah dengan demokratisasi dalam segala bidang. Pembinaan olah raga akan lebih
banyak melibatkan partisipasi dan prakarsa masyarakat. Perubahan ini semestinya
diikuti oleh pemberdayaan masyarakat di bidang olah raga. Selaras dengan
semangat zaman, derajat partisipasi masyarakat dalam pembangunan olah raga akan
menentukan postur dan kemajuan pembangunan olah raga suatu daerah. Masyarakat
bukan hanya perlu didorong dalam menjadikan olah raga sebagai kebutuhan, tetapi
juga mengambil peran dalam memajukan olah raga daerah.
Pembangunan
olah raga yang bertumpu pada peran serta masyarakat dulu telah dicoba dalam
kemasan gerakan memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat.
Gerakan ini memerlukan revitalisasi sehingga menjadi focal concern baru. Hal
ini bukan tidak mungkin, karena tekanan hidup menuntut masyarakat mengubah pola
hidup. Pilihan pola hidup sehat dapat menjadi solusi di saat krisis. Tentu saja
kebijakan ini memerlukan instrumen pendukungnya. Pembangunan sarana prasarana
olah raga selain harus memperhatikan sebaran demografis juga tidak melupakan kebutuhan
penyediaan pelayanan olah raga bagi anggota masyarakat yang memiliki
keterbatasan khusus.
Pengembangan
pelayanan olah raga untuk kelompok khusus, terutama untuk orang cacat masih
membutuhkan peningkatan dalam berbagai aspek. Untuk pembinaan kelompok khusus
ini, kita masih kekurangan tenaga pembina yang kompeten maupun sarana dan
prasarana untuk mendukung pelaksanaan pembinaan. Sedangkan dalam hal pembinaan
olah raga prestasi perlu didukung peningkatan sarana prasaran olah raga dan
sumberdaya manusia yang kompeten. Pembinaan olah raga prestasi diletakkan di
atas landasan pendidikan jasmani dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Pembinaan dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan berikut.
Pertama,
introduksi dan penerapan teknologi olah raga untuk mendorong efisiensi pembinaan
olah raga prestasi. Sayangnya, industri olah raga dalam negeri baru sebatas
memperoleh hak paten untuk memproduksi peralatan olah raga. Hal ini menunjukkan
betapa tertinggalnya riset dan pengembangan dalam bidang keolah ragaan, baik di
perguruan tinggi maupun di lembaga riset swasta dan milik pemerintah.
Prioritas
riset dan pengembangan bisa diletakkan dalam upaya reservasi jenis olah raga
tradisional yang menjadi bagian dari pranata sosial budaya masyarakat namun
mulai ditinggalkan pendukungnya. Selain itu, riset dan pengembangan pun perlu
diarahkan pada penyediaan peralatan dan perlengakapan olaharaga sehingga tidak
sepenuhnya bergantung kepada produk luar negeri yang mahal. Pemajuan
aspek-aspek di atas membutuhkan keterlibatan semua pihak. Tidak hanya keterlibatan
jajaran pemerintahan daerah, tetapi juga keterlibatan dan prakarsa para
pengusaha, tokoh masyarakat, dan elemen lain.
Sudah saatnya
prestasi olah raga Jawa Tengah beranjak pada level yang lebih bergengsi. Hal
ini bukan perkara yang absurd, mengingat potensi yang dimiliki masyarakat Jawa
Tengah lebih dari memadai. Bukan hanya potensi atlet, tetapi juga potensi dalam
pembinaan. Karena itu, kata kunci pemajuan olah raga di Jawa Tengah adalah
membangun sinergi dalam menjadikan olah
raga sebagai budaya masyarakat dan pembinaan olah raga prestasi di Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar